Selasa, 16 Agustus 2016

Secangkir Kopi yang Tak Hitam



Seperti biasa, setiap pagi aku duduk di sudut café dekat rumahku, menikmati secangkir kopi kesukaanku sambil memikirkan kelanjutan cerita untuk blog-ku. Sesekali kuseruput kopi manisku, menambahkan beberapa ide, dan mencoret yang kupikir kurang bagus. Ya, kopiku tidak pahit, tapi manis, secangkir besar café latté dengan sedikit tambahan gula, kalau kau boleh menyebutnya cangkir.

Sambil bergumam sendiri kutambahkan lagi beberapa ide untuk kelanjutan novelku, sementara tangan kananku sudah sibuk dengan kebiasaan lamanya; memilin-milin rambut hitamku yang ikal dan panjang. Saat ini aku sedang mengerjakan novel romantis, dan ini adalah pengalaman pertamaku. Biasanya aku lebih sering menulis cerita fantasi atau misteri, tapi karena penasaran aku jadi ingin mencoba cerita romantis. Kemarin baru kupublikasikan chapter pertamanya dan para pembacaku memberikan respon positif, mereka menunggu kelanjutan ceritanya.

Kalau kalian penasaran, ceritanya sebenarnya sederhana, tentang seorang gadis yang jatuh cinta kepada sahabat dekatnya sendiri dan terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya. Dia takut itu akan merusak persahabatan mereka dan membuat sahabatnya itu justru menjauhinya. Bertahun-tahun gadis ini memendam perasaanya sampai akhirnya mereka harus berpisah karena sahabatnya itu harus pindah ke kota lain bersama keluarganya.

Aku sudah menemukan beberapa ide yang cocok untuk kelanjutan ceritanya dan baru akan mulai menulis saat seseorang tiba-tiba mengejutkanku, "Kau tahu, kau terlihat sangat seksi setiap kali kau melakukan itu."

Sebuah suara berat seorang pria membuatku terlonjak dan nyaris menjatuhkan cangkir kopiku, "Tolong berhenti menggigit bibirmu seperti itu, aku hampir tak bisa berdiri," lanjutnya sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku mendongak menatapnya tanpa bisa berkata apapun. Aku memang tak biasa berinteraksi langsung dengan orang lain, apalagi dengan seorang pria, dan lebih tepatnya seorang pria asing yang tampan dan seksi seperti dia. Badannya kejar dan tegap, wajahnya tegas tapi tak menakutkan, jenggot tipis di rahang kokohnya membuatnya makin terlihat seksi. Tapi yang paling menghipnotisku adalah kedua nata hitamnya yang memberikan efek rileks yang menyenangkan. Ya Tuhan apa yang barusan kupikirkan?

"Er...maaf?" kataku tak yakin. Aneh, biasanya aku langsung gemetaran dan sulit bicara bila bertemu orang asing. Lalu pria seksi itu tiba-tiba tertawa, tawa lepas yang terdengar renyah dan merdu yang membuatku merona. Ya ampun, apa yang terjadi denganku?

"Maaf, jangan aku bukan bermaksud menakutimu," katanya dengan senyum yang lebih manis dari kopiku, "Boleh aku duduk?"

Sebelum kupersilahkan dia sudah menarik kursi di hadapanku dan meletakkan dua cangkir besar di meja. Sejak kapan dia membawa dua cangkir itu?

"Sepertinya kau perlu tambahan kopi," katanya menyodorkan salah satu cangkirnya padaku. Aku melirik cangkirku dan memang sudah kosong, "Iya, tapi..."

"Café latté dengan sedikit tambahan gula, kan?" potongnya sebelum aku sempat bicara.

"Bagaimana...?"

"Sudah lama aku ingin menyapamu," jelasnya masih dengan senyuman yang terlalu manis itu.

"Oh ya?"

"Ya, tapi kau selalu sibuk, terlalu asyik dengan kopi dan ceritamu."

Aku mengerutkan dahi bingung, "Aku pembaca setia blog-mu, aku jatuh cinta pada setiap tulisanmu. Setelah sekian lama membaca semua ceritamu, aku jadi ingin bertemu langsung denganmu."

"Oh, terima kasih."

"Ya, tapi aku tidak pernah berani menyapamu," katanya sambil menggaruk kepalanya yang kuyakin tidak gatal itu, oh God dia terlihat makin seksi saat tersipu seperti itu, oops.

"Jadi setiap pagi aku hanya bisa duduk di seberang sana sambil memerhatikanmu menikmati kopi dan menulis. Maaf kalau jadinya terkesan seperti penguntit, aku tak bermaksud begitu."

"Tidak masalah, selama kau tidak berbuat macam-macam," kataku setengah jujur, kau berbuat macam-macam pun sepertinya aku akan pasrah. Oh Tuhan, dari mana pikiran kotor ini muncul? Ada apa denganku?

"Oh, ya ampun, di mana letak kesopananku? Aku David, David Pratama, salam kenal," katanya sambil mengulurkan tangannya yang besar, mulutnya tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang putih.

"Elisa, oh well, kau tentu sudah tahu," sahutku menyalami tangannya, yang terasa agak kasar tapi begitu pas dan nyaman dalam genggamanku, rasanya enggan melepas genggaman tangannya.

"Ehem, apa perlu kupotong tanganku agar bisa kau bawa pulang?"

Seketika itu juga langsung kulepas tanganku. Ya ampun, memalukan sekali, aku yakin wajahku pasti semerah tomat sekarang. Sementara itu David justru tertawa lepas, tawa merdu yang terdengar seperti lagu di telingaku.

Lalu kami mengobrol tentang banyak hal. Aneh rasanya karena aku baru mengenal David beberapa menit yang lalu tapi kami bercengkerama seperti sahabat lama. Aku yang biasanya gugup dan canggung bisa bercerita dan tertawa lepas dengan pria yang baru kukenal ini.

Tapi siapa yang tak merasa nyaman berbicara dengannya? David pria yang sangat sopan, dia orang yang cerdas dan berwawasan luas. Dia juga lucu dan sangat mudah menbuatku tertawa. Dan jangan lupa dia sangat seksi. Well, tentu dia bukan pria seksi dan tampan pertama yg kutemui, masih banyak yang lebih keren dan tampan, tentu saja. Tapi David satu-satunya pria yang bisa membuatku bicara dan bersikap terbuka tanpa canggung dan gelisah.

Entahlah, tapi ada perasaan aneh yang terasa familiar yang membuatku nyaman dan tenang saat berbicara dengannya. Tiap kali bibirnya tersenyum, tiap kali suara merdunya berbicara, dan tiap kali mata hitamnya menatap tepat ke kedua mataku, tubuhku bergetar bukan karena gelisah tapi karena terpesona, dan emosiku begitu tenang dan nyaman.

"Sejujurnya, jauh sebelum membaca ceritamu, kita pernah bertemu sekali di sebuah café," kata David masih dengan senyum mautnya itu.

"Oh ya? Kapan?"

"Lima tahun yang lalu, saat itu kita tak sengaja memesan kopi secara bersamaan. Kita sama-sama berlari ke barista dan memesan pesanan yang sama sampai-sampai si barista itu terkejut dan bingung. Saat itu kita sama-sama memesan café latté dengan sedikit tambahan gula," katanya lalu menyeruput kopinya.

"Ya ampun, itu kan..."

"Cerita pertama di blog-mu," potong David, "Secangkir kopi yang tak hitam."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.